Apa jajanan tradisional favoritmu? Pernah coba gatot dan tiwul? Gatot dan tiwul merupakan salah satu makanan khas dari Gunung Kidul, Yogyakarta. Masyarakat Gunung Kidul zaman dulu sering memanfaatkan makanan ini sebagai sumber makanan pokok pengganti nasi. Dulunya, gatot dan tiwul ini juga dianggap kuno dan dicap sebagai jajanan kelas bawah.
Kini, tiwul dan gatot menjadi makanan bagi semua kalangan. Jajanan tradisional ini ternyata mampu menarik minat banyak orang dan makin diburu terutama mereka yang tak mengenalnya sekarang. Berbeda dengan generasi 90-an yang pastinya punya kenangan dan kerinduan dengan jajanan favorit semasa kecil ini.
Tak banyak penjual jajanan tradisional seperti tiwul dan gatot yang mampu bertahan selama puluhan tahun. Tapi kalau kamu tinggal di Jogja pasti cukup mengenal nama Mbah Hadi. Mbah Hadi punya banyak pelanggan mulai dari wisatawan dari luar kota Jogja sampai pejabat daerah. Tak heran jika tiwul, gatot, dan cenil Mbah Hadi makin terkenal di kalangan penikmat jajanan tradisional.
Mbah Hadi yang dikenal sebagai Mbah Gatot (70) mulai berjualan gatot, tiwul, dan cenil sejak tahun 1975. Kala itu dia masih membantu ibunya yang bernama Warno Diharjo atau sering disebut sebagai Mbah Warno. Jadi, tak berlebihan rasanya jika gatot dan tiwul olahannya dianggap legendaris, karena bertahan lama sampai era modern seperti sekarang.
"Dulu yang pertama kali jualan itu Budhe, lalu Ibu saya, sekarang saya. Dan semoga nanti anak saya ada yang mau meneruskan jualan ini," kata Mbah Hadi saat diwawancarai.
Cenil dan tiwul adalah jajanan tradisional dengan cita rasa manis bercampur taburan kelapa parut yang gurih. Bahan dasar cenil adalah tepung sagu atau pati dari singkong. Teksturnya kenyal dengan warna merah, putih atau hijau.
Sementara tiwul terbuat dari singkong yang telah dikeringkan atau disebut gaplek, kemudian baru diolah dan dikukus. Biasanya tiwul disantap dengan sayur, tetapi sekarang kebanyakan disajikan dengan parutan kelapa karena sering dijadikan sebagai oleh-oleh.
Tak disangka, berkat usaha gatot dan tiwul yang hampir 40 tahun ini, Mbah Hadi mampu mengentaskan tujuh orang anaknya. Kini ia bahkan sangat senang bisa kerap menyenangkan hati cucunya dengan uang dari hasil jualannya.
"Kalau bisa selama hidup, lebih baik tangan saya selalu di atas daripada tangan di bawah," tambah Mbah Hadi.
Gula putih yang ditambahkan juga dibuat dari gula putih yang dihaluskan. Karena jika menggunakan gula merah cair mudah basah saat dipincuk. Taburan kelapanya diparut langsung di tempat sehingga tidak bau anyir dan makin memperkaya rasa jajanan tradisional ala Mbah Hadi.
Selain itu, gatot, tiwul, dan cenil itu biasanya disajikan dalam sepincuk daun pisang. Sehingga makin memberikan efek aroma khas yang natural pada setiap jajanan yang dibungkus.
Sepincuk gatot tiwul Mbah Hadi masing-masing dihargai Rp 3.000, harga yang cukup murah meriah untuk sepincuk kenikmatan. Tapi jika kamu ingin mencampur masing-masing dihargai Rp 5.000.
Menariknya gatot, tiwul, dan cenil Mbah Hadi tidak dijual pagi atau siang hari layaknya jajanan pasar biasa dijajakan. Tapi kamu baru bisa membelinya mulai pukul 16.30 WIB hingga 20.00 WIB di depan Gereja St Albertus Magnus Jetisharjo, 80 meter di utara Tugu Jogja. Setiap harinya, Mbah Hadi menggelar dagangannya dibantu oleh putrinya, Rini (46).
Mbah Hadi dan pelanggannya telah memperkenalkan dan merawat jajanan tradisional sebagai kuliner khas Gunungkidul. Oleh karena itu, jika berkunjung ke kota Jogja, sempatkan mampir ya. Datanglah sebelum pukul 19.30 WIB untuk menjamin kamu tak kehabisan.